Senin, 15 Februari 2010

Melindungi Anak, Melindungi Masa Depan

Hasanah Safriyani, Psi / Dimuat di Buletin RC

Laki-laki muda itu duduk di depan saya. Caranya berpakaian khas anak remaja saat ini. Parasnya yang hitam manis berpadu kontras dengan ekspresinya yang tampak kurang lepas. Kisah yang dia paparkan, membuat saya tercengang
“ Saya bingung sama diri saya sendiri. Saya itu susah sekali mengendalikan emosi. Setiap kali saya marah, saya pasti ingin menghantam atau memukul sesuatu. Dulunya saya sering memukul siapa saja yang membuat saya kesal. Jadinya berantem deh. Setelah kuliah ini, saya nggak mau lagi bikin masalah. Makanya kalau saya kesal atau marah, saya alihkan ke benda mati. Mbak mau tau apa akibatnya? Semua barang saya rusak. Minggu lalu saya ditegur ibu kost saya gara-gara pintunya hampir jebol saya tendang. Semua barang saya, kipas angin, tape, computer semua jadi error gara2 saya pukul atau lempar. Sudah gila saya barangkali, tapi kalo nggak gitu, saya pasti sudah menyakiti teman2 kuliah saya, lebih gila lagi kan? Belum lagi kalau mereka semua balas mengeroyok saya, bisa habis saya.
Baru-baru ini ada kejadian yang bikin saya sadar dan menyesal. Waktu itu pacar saya datang ke kost, kami bertengkar. Entah bagaimana jalan ceritanya, tiba-tiba saya pukul dia. Dia pingsan. Saya nggak bisa memaafkan diri saya sendiri gara-gara kejadian itu….”
Jeda sebentar. Dia berhenti untuk menarik nafas. Mulailah saya bertanya tentang masa kecilnya
“Orang tua saya adalah orang yang dihormati di kampung saya. Apapun yang beliau inginkan pasti orang akan memenuhi. Ayah punya banyak anak buah. Setiap anak buahnya melakukan kesalahan, pasti akan kena pukul. Saya juga mendapat perlakuan yang sama. Kalau saya salah, saya akan kena pukul. Kalau saya bersalah dengan kakak saya, selain ayah, kakak juga pukul saya. Kalau teman saya membuat saya marah, berarti dia salah, saya pukul dia. Kalau sudah dipukul, dia jadi jera. Kalau jera dia nggak akan berani bikin kesalahan lagi. Sampai SMApun, saya selalu begitu. Kawan2 saya nggak terlalu berani dengan saya, mereka tahu ayah saya. Tapi disini, saya nggak bisa begitu lagi, mereka nggak tahu ayah saya siapa. Kalau saya pukul mereka, mereka semua pukul saya, habis saya. Saya tahu saya harus cari cara supaya nggak main pukul kalau marah. Tapi gimana? “
Percakapan selanjutnya adalah pembicaraan yang biasa terjadi dalam konseling, tidak pada porsinya untuk dibeberkan disini. Tapi satu hal yang ingin saya angkat bahwa apa yang dialami anak, akan berdampak pada masa depannya. Orang tua pemuda ini mungkin tidak sadar bahwa mereka telah menancapkan pedang yang menusuk buah hatinya di masa depan. Tegakah kita melakukannya??
Love, Yani

Catatan: peristiwa di atas adalah peristiwa nyata, percakapan dilakukan bukan di ECCD-RC

Powered By Blogger
Template by layout4all