Kamis, 10 Juni 2010

Tiada Hari Tanpa Konflik

Herlita jayadianti
Koordinator media kampanye ECCD-RC/dimuat di harian jogja Mei 2010


Kemampuan untuk menyelesaikan konflik sebaiknya memang dikenalkan dan dilakukan sejak dini agar setelah besar anak terlatih untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Sebab, melatih anak menyelesaikan konflik berarti juga melatih anak mengontrol kemarahan dan emosinya. Bukankah kekerasan terjadi lantaran orang tidak bisa mengendalikan amarah dan emosinya? Tapi tentu ini bukan sesuatu yang mudah Terlebih lagi ciri anak-anak adalah kepolosan. Kalau mereka mau marah, ya, marah saja, tidak perlu menunggu atau menundanya alias tidak perlu kontrol diri segala. Hal ini disebabkan mereka belum tahu aturan main dalam kehidupan.

Kalau dibiarkan apakah ada dampaknya ?

bisa mengganggu hubungan sosial
Bila sejak dini anak tidak pernah diajarkan mengatasi konflik, dia bisa kehilangan teman, lho. Ya siapa sih yang mau berteman dengan anak yang suka buat gara-gara atau sulit bersosialisasi....

terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Anak belajar dari mencoba dan mengamati. Jika sekali dilakukan dan berhasil maka besok akan dicoba lagi. Jika hari ini keinginan dicapai dengan konflik dan berhasil maka jangan heran kalau besok cara ini akan dipakai lagi dst. Anak akan terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan karena memang hanya cara ini yang dia tahu.

Mengganggu perkembangan konsep diri
Kalau sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit konflik/buat gara-gara bisa saja lalu anak diberi label oleh teman-temannya, entah sebagai si pemarah atau si brengsek, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, akhirnya akan mengganggu perkembangan konsep dirinya. Bisa-bisa anak akan bersikap, kalau aku enggak marah maka bukan aku lagi.

Bagaimana sebaiknya orangtua bersikap ?

Ajak komunikasi dan jelaskan etika Bergaul
Jadi, Bu-Pak, betapa penting mengajari anak mengatasi maupun menghindari konflik. Kendatipun tidak mudah, namun percayalah, kita pasti bisa melakukannya. Caranya dengan mengajak anak berdialog. Bukankah di usia prasekolah anak sudah bisa diajak berdialog? Jelaskan pada anak tentang etika bergaul seperti bagaimana akibatnya jika mereka selalu berebut dan tidak mau berbagi, apalagi sampai bertengkar dan memukul, Ajarkan pula untuk bertenggang rasa dan berempati pada perasaan orang lain, juga pentingnya sikap saling memaafkan.

Beri contoh
Tapi tentu tidak cukup hanya bila dilakukan lewat dialog karena untuk mengajarkan sesuatu pada anak akan lebih efektif bila dilakukan juga lewat contoh sehari-hari dari orang tua. Orang tua tentunya pasti pernah bertengkar atau berargumentasi di depan anak-anak, kan? Nah, pastikan anak-anak melihat kedua orang tuanya saling meminta maaf dan saling memperbaiki diri seusai bertengkar.Jangan lupa untuk selalu mengajari anak-anak meminta maaf dan berdamai seusai bertengkar.

Lakukan dengan cara yang menyenangkan
Disamping itu, media bantu seperti buku-buku cerita atau film yang memperlihatkan nilai-nilai tersebut juga akan sangat membantu dalam mengajarkan nilai-nilai kebaikan pada anak.ya lakukan dengan cara-cara yang menyenangkan ( bermain ), metode ceramah sama sekali tidak akan efektif apalagi untuk anak usia dini.

Latih anak memecahkan masalah
Selanjutnya, yang harus kita lakukan ialah melatih anak memecahkan masalahnya sendiri. Jadi, bila anak-anak sedang bertengkar, biarkan saja dulu, tidak perlu tergesa-gesa mencampuri urusan mereka. Barulah jika pertengkaran itu sudah mengarah ke hal-hal yang membahayakan, orang tua harus segera menghentikannya. Saat menengahi pun kita tidak perlu buru-buru memberikan jalan keluar. Tanyakan dulu keduanya, apa yang kalian ributkan? Jadi orang tua masuk dan mereka diajak diskusi agar lebih tenang dan tidak main mulut begitu saja.Setelah salah satu bercerita, tanyai lagi lainnya, apakah itu benar? Dengan demikian mencegah mereka menjadi pengadu." Lantas, tanyai, apa yang bisa mereka lakukan untuk menyelesaikan konflik. Tentunya masing-masing akan mengemukakan argumennya. Nah, saat itulah kita harus menunjukkan bagaimana bisa menyelesaikan konflik meski berbeda sudut pandang, Kalau menurutmu, mungkin pendapatmu itu yang benar. Tapi coba kita lihat dari pendapat temanmu.Misalnya, mereka berebut main di ayunan taman yang menjadi milik umum. Jelaskan, Barang ini memang milik orang banyak. Jadi, semua orang boleh memakainya, baik kamu maupun temanmu. Nah, karena semua orang boleh pakai, maka berarti ini bukan milikmu sendiri, kamu tidak boleh pegang terus mainan ini. Temanmu pun harus mendapat giliran pakai, kan?

Arahkan emosi anak
Bila anak masih tidak bisa mengontrol emosinya, bimbinglah ia untuk mengarahkan emosinya. Katakan, misalnya, ”Bunda mengerti Kakak marah karena Tati terus memainkan ayunan itu tanpa memberimu kesempatan untuk memainkannya. Barangkali Tati memang sudah lama ingin bermain ayunan. Coba, deh, bayangin kalau Kakak sudah lama ingin main ayunan, tentunya Kakak enggak cukup puas kalau mainnya sebentar, kan?" "Jadi, anak senantiasa dilatih untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan berempati pada perasaan orang lain agar tidak menjadi egois.anak pun akan makin mengerti, mengapa orang lain melakukan tindakan berbeda dengannya. Sehingga, betapapun juga ia tidak setuju dengan tindakan orang lain, dia akan berusaha berpikir seperti cara orang tersebut berpikir. Dengan begitu, konflik yang keras dapat dihindari.

Ajarkan anak untuk luwes dan fleksibel
Yang tidak kalah penting ialah mengajarkan keluwesan dalam menghadapi persoalan. Misalnya, ia tak mau membereskan mainannya setelah selesai bermain, "jangan lantas memberinya ultimatum, tapi berilah alternatif waktu untuk memilih waktu yang tepat dalam membereskannya, 'Bagaimana kalau sehabis menonton film kartun kamu membereskannya?'" Jadi, ada fleksibelitas dalam menangani sesuatu. Dengan selalu mengajarkan keluwesan atau fleksibelitas, anak tidak akan mudah meledak marah kala temannya tidak mentaati aturan main yang telah mereka buat. Bukankah ia sudah terbiasa dengan ajaran, selalu ada jalan keluar lain manakala ada kesepakatan yang meleset?

Beri konsekuensi
Tentu kita juga perlu bertindak tegas terhadap perbuatannya yang salah saat meluapkan amarahnya. Misalnya, ia suka memukul. Nah, jelaskan padanya bahwa ia mesti menghilangkan kebiasaan buruknya memukul teman atau adiknya. Jika masih terulang lagi, maka ada konsekuensinya. Misalnya, tak boleh menonton film kartun kegemarannya di TV, tak boleh makan es krim selama seminggu, dan sebagainya.

selamat mencoba semoga bermanfaat

Powered By Blogger
Template by layout4all